BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Evaluasi pendidikan merupakan salah satu komponen utama yang tidak dapat dipisahkan dari rencana pendidikan. Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua bentuk evaluasi dapat dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Informasi tentang tingkat keberhasilan pendidikan akan dapat dilihat apabila alat evaluasi yang digunakan sesuai dan dapat mengukur setiap tujuan. Alat ukur yang tidak relevan dapat mengakibatkan hasil pengukuran tidak tepat bahkan salah sama sekali.
Ujian akhir nasional (UAN) merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan pemerintah. UAN merupakan bentuk lain dari ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) yang sebelumnya dihapus. Benarkah UAN merupkan alat ukur yang sesuai untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan?
Dari berbagai sudut pandang dapat di analisis baik dari nilai positif (kelebihan) maupun nilai negatif (kelemahan) ujian nasional, dan bagaimanakah alternatif solusi yang terbaik untuk menentukan bagaimana model evaluasi yang baik dalam penentuan kelulusan. Dengan standar kelulusan yang berbeda-beda setiap tahunnya.
Dengan pelaksanaan kebijakan tersebut, akhir-akhir ini diketahui bahwa adanya kebijakan UAN menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat, baik dari kalangan pendidikan maupun dikalangan non kependidikan. Suatu hal yang wajar, apabila adanya suatu keputusan menimbulkan suatu yang pro dan kontra. Namun pro yang kontra kali ini, patut dipikirkan oleh pemerintah dalam hal ini jajaran Pemerintah yang berkaitan dengan Pendidikan Nasional. Hal inilah yang akan dibahas dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
1. Apa tujuan dilaksanakannya Ujian Nasional?
2. Mengapa Ujian Nasional menuai protes?
3. Apakah Ujian Nasional sebaiknya tetap dilaksanakan atau tidak?
C. Tujuan
Makalah ini memiliki tujuan, yaitu:
1. Untuk mengetahui tujuan dilaksanakannya Ujian Nasional,
2. Untuk mengetahui mengapa Ujian Nasional menuai protes,
3. untuk mengetahui apakah Ujian nasional sebaiknya tetap dilaksanakan atau tidak.
D. Manfaat
Pembuatan makalah ini diharapakan dapat memberikan manfaat, yaitu:
1. memberikan informasi tentang tujuan dilaksanakannya ujian nasional,
2. memberikan informasi tentang alasan mengapa ujian nasional menuai protes,
3. memberikan informasi tentang apakah Ujian Nasional sebaiknya tetap dilaksanakan atau tidak.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Tujuan dilaksanakannya Ujian Nasional
Ujian Nasional dimaksudkan oleh pemerintah (Depdiknas) untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Pro kontra seputar UN tidak seharusnya terjadi kalau semua pihak saling memahami dan menempatkan UN secara proporsional
Pihak pemerintah melalui Depdiknas harus merancang sistem ujian atau penilaian yang sistematis, bertahap dan berkelanjutan. Tujuan diadakannya Ujian Nasional adalah:
a. Sistem penilaian harus dapat difungsikan untuk mendeteksi potensi dan kompetensi siswa sekaligus bisa memetakan kompetensi guru dalam keberhasilan pembelajaran di kelas.
b. Meningkatkan mutu pendidikan dengan menindaklanjuti hasil UN dengan berbagai program yang dapat meningkatkan mutu pendidikan secara komprehensif. Sistem penilaian (UN) harus mampu:
1. memberi informasi yang akurat
2. mendorong siswa untuk belajar
3. memotivasi guru dalam pembelajaran
4. meningkatkan kinerja lembaga
5. dan meningkatkan kualitas pendidikan.
Dengan sistem penilaian yang demikian diharapkan secara berangsur-angsur mutu pendidikan di tanah air akan meningkat.
2. Alasan mengapa Ujian Nasional Menuai Protes
Ketentuan baru UN oleh Depdiknas yang dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional menuai protes dari beberapa kalangan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
• Pertama, Kurangnya sosialisasi dari pihak Depdiknas.
Kebijakan UN terkesan mendadak karena seringkali diinformasikan beberapa bulan menjelang pelaksanaan UN kepada pihak-pihak terkait. Seperti informasi UN tahun ajaran 2005/2006 baru disosialisasikan 18 Oktober 2005 (Kompas, 19/10/2005). Dengan waktu yang singkat ini sepertinya sulit bagi pihak-pihak yang terkait, terutama pihak sekolah untuk mempersiapkan diri dengan baik menghadapi UN ini. Pihak sekolah menjadi kaget dan gugup menghadapi kebijakan baru UN.
Seharusnya pemerintah melalui Depdiknas mensosialisasikan UN ini secara sistematis, bertahap dan berkelanjutan. Misalnya, untuk lima tahun ke depan akan dilakukan UN dengan standar kelulusan yang berbeda. Ujian Nasional yang pertama kali diperkenalkan tahun ajaran 2002/2003 dengan istilah Ujian Akhir Nasional (UAN) seharusnya Depdiknas menetapkan standar kelulusan yang berbeda dan meningkat dari tahun ke tahun untuk lima tahun kedepan. Contohnya, untuk tahun ajaran 2002/2003 standar kelulusan 3,01; tahun ajaran 2003/2004 standar kelulusan 4,01; tahun ajaran 2004/2005 standar kelulusan 4,26; tahun ajaran 2005/2006 standar kelulusan 4,50 dan tahun ajaran 2006/2007 standar kelulusan 5,01. Dengan penetapan standar kelulusan yang sistematis, bertahap dan berkelanjutan maka pihak-pihak yang terkait di lapangan (dinas pendidikan, sekolah, guru, siswa dan orang tua) dapat mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya.
• Kedua, adanya disparitas yang tinggi tentang mutu sekolah baik dalam satu daerah maupun antar daerah.
Realitas di lapangan menunjukan mutu sekolah berbeda-beda, baik dari aspek siswa, guru, fasilitas, sumber dana, maupun manajemen. Dengan perbedaan ini tentu kurang bijaksana kalau diterapkan standar yang sama untuk persyaratan kelulusan. Seharusnya Depdiknas menetapkan standar kelulusan yang berbeda dengan memperhatikan kondisi riil daerah dan sekolah.
• Ketiga, hasil UN yang hanya menguji beberapa mata pelajaran dan hanya bersifat kognitif tidak serta merta dapat dijadikan indikator tentang mutu pendidikan.
Kalangan yang menolak UN berpandangan bahwa untuk mengukur standar mutu pendidikan harus dilihat struktur pendidikan secara menyeluruh termasuk non-akademis, proses dan input pendidikan.
Meningkatkan standar mutu pendidikan tentu tidak sesederhana hanya dengan meningkatkan angka standar kelulusan. Secara substansial harus ditopang dengan pembenahan-pembenahan persoalan pendidikan secara mendasar dan komprehensif, seperti gedung sekolahan yang rusak berat, banyaknya siswa putus sekolah, kekurangan guru, kekurangan buku pelajaran, penyediaan komputer yang terbatas, dan laboratorium yang belum standar serta persoalan pendidikan lainmya.
• Keempat, hasil UN selama ini tidak ada tindak lanjutnya.
Para praktisi pendidikan, terutama guru selama ini kurang merasakan adanya manfaat nyata dari UN, terutama dalam hal peningkatan kualitas mengajar. Ujian Nasional lebih sekedar kegiatan rutin tahunan. Seharusnya pasca UN dilakukan pelatihan intensif terhadap guru bidang studi yang siswanya banyak yang gagal dalam UN.
• Kelima, UN (di SMA/SMK) kurang mempunyai relevansi dengan seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya.
Siswa SMA yang dinyatakan lulus dengan nilai UN yang tinggi tetap harus ikut seleksi untuk masuk ke Perguruan Tinggi. Sepertinya tidak ada koordinasi antara Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah dengan Pendidikan Tinggi. Pihak Perguruan Tinggi sepertinya “tidak percaya” dengan hasil UN yang diselenggarakan manajemen pendidikan dasar dan menengah. Padahal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 68 dinyatakan bahwa hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya.
Kelima alasan diatas menimbulkan aksi-aksi protes dari beberapa kalangan seputar UN, terjadi ketakutan yang berlebihan dari pihak-pihak yang berkecimpung secara langsung dalam pendidikan (Dinas pendidikan, kepala sekolah, guru, orang tua dan siswa) terhadap hasil UN. Mereka seakan takut menerima kenyataan kalau nanti banyak siswa yang tidak lulus dalam UN, sehingga mereka berupaya menolak UN yang dianggap merugikan. Ketakutan mereka disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
• Pertama, tradisi kelulusan 100%. Sistem ujian sekolah yang berlaku mulai tahun 1965 dan diganti dengan sistem evaluasi belajar tahap akhir nasional (Ebtanas) yang mulai diterapkan tahun 1982 seolah “meninabobokan” para pelaku pendidikan di lapangan, terutama guru dan kepala sekolah.
Dengan sistem ini dimungkinkan siswa dapat lulus 100%, karena sekolah (guru dan pihak lainnya) dapat bermain-main dengan angka agar kelulusan dapat mencapai 100%. Kesan adanya “mark up” nilai sulit dihindari. Tanpa bermaksud memojokan, kesan itu mudah diketahui dari nilai yang diperoleh siswa saat mengikuti Ebtanas. Dengan nilai ebtanas murni (NEM) di bawah angka tiga banyak siswa dinyatakan lulus, karena nilai mata pelajaran lain ditinggikan, sehingga nilai rata-rata melampaui batas minimal nilai yang dipersyaratkan untuk bisa lulus ujian (misalnya rata-rata 6,00).
Tradisi kelulusan 100% sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip pendidikan, karena tidak mendorong siswa untuk belajar keras dan guru untuk bekerja keras. Guru tidak tertantang oleh keadaan untuk lebih mempersiapkan diri sebelum masuk ruang kelas. Tidak ada budaya kompetisi baik bagi siswa maupun guru, sebab nantinya juga lulus 100%.
• Kedua, adanya budaya malu terhadap kekurangan diri sendiri.
Ada kekhawatiran melalui hasil UN akan menunjukan lemahnya kinerja dan kompetensi para praktisi pendidikan di lapangan selama ini. Sehingga ada kesan bahwa selama ini ada upaya mengadakan manipulasi terhadap hasil UN, seperti yang dikatakan Ketua Masyarakat Pendidikan Riau Alfian Djoremi dimana demi memenuhi target kelulusan, akan terjadi kesepakatan para pengajar untuk membocorkan jawaban (Kompas, 22/10/2005).
Kalau memang praktisi pendidikan di lapangan sudah merasa bekerja secara profesional, maka tidak akan takut dengan standar kelulusan 4,50.
• Ketiga, adanya kekhawatiran akan terjadinya keresahan dan gejolak sosial di masyarakat.
Dengan banyaknya siswa yang tidak lulus dalam UN ada kekhawatiran dari beberapa kalangan akan terjadi gejolak sosial. Pandangan ini kurang berdasar, karena sudah saatnya masyarakat Indonesia diajarkan mau menerima kenyataan sepahit apapun. Sudah saatnya masyarakat Indonesia dididik untuk bekerja keras untuk mendapatkan hasil yang memuaskan.
3. Apa Ujian Nasional sebaiknya tetap dilaksanakan atau tidak
Dari alasan-alasan diatas sebaikannya Ujian Nasional tetap dilaksanakan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional namun pemerintah harus lebih memperhatikan kendala-kendala dalam pelaksanaan Ujian Nasional tersebut. Yaitu diantaranya dengan cara:
a. Lebih meningkatkan sosialisasi tentang Ujian Nasional
b. Meningkatkan relefansi antara Ujian Nasional dengan ujian masuk Perguruan.
c. Menindaklanjuti Ujian Nasional dengan sebaiknya.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan yang ada dapat disimpulkan bahwa:
a. Tujuan dilaksanakannya Ujian Nasional adalah untuk Meningkatkan mutu pendidikan dengan menindaklanjuti hasil UN dengan berbagai program yang dapat meningkatkan mutu pendidikan secara komprehensif dan dapat mendeteksi potensi dan kompetensi siswa sekaligus bisa memetakan kompetensi guru dalam keberhasilan pembelajaran di kelas.
b. Alasan mengapa Ujian Nasional Menuai Protes
1. Kurangnya sosialisasi dari pihak Depdiknas.
2. Adanya disparitas yang tinggi tentang mutu sekolah baik dalam satu daerah maupun antar daerah.
3. Hasil UN yang hanya menguji beberapa mata pelajaran dan hanya bersifat kognitif tidak serta merta dapat dijadikan indikator tentang mutu pendidikan.
4. Hasil UN selama ini tidak ada tindak lanjutnya.
5. UN (di SMA/SMK) kurang mempunyai relevansi dengan seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya.
c. Dari alasan-alasan yang ada sebaiknya Ujian Nasional tetap dilaksanakan karena dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, namun pemerintah harus lebih memperhatikan kendala-kendala dalam pelaksanaan Ujian Nasional tersebut.
B. Saran
Saran untuk pemerintah dan masyarakat:
a. Seharusnya pemerintah melalui Depdiknas mensosialisasikan UN ini secara sistematis, bertahap dan berkelanjutan
b. Realitas di lapangan menunjukan mutu sekolah berbeda-beda, baik dari aspek siswa, guru, fasilitas, sumber dana, maupun manajemen. Dengan perbedaan ini tentu kurang bijaksana kalau diterapkan standar yang sama untuk persyaratan kelulusan. Seharusnya Depdiknas menetapkan standar kelulusan yang berbeda dengan memperhatikan kondisi riil daerah dan sekolah.
c. Para praktisi pendidikan, terutama guru selama ini kurang merasakan adanya manfaat nyata dari UN, terutama dalam hal peningkatan kualitas mengajar. Ujian Nasional lebih sekedar kegiatan rutin tahunan. Seharusnya pasca UN dilakukan pelatihan intensif terhadap guru bidang studi yang siswanya banyak yang gagal dalam UN.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.lpmpdki.web.id/Opinion/PRO-KONTRA-Seputar-Ujian-Nasional.html
http://www.lpmpdki.web.id/Opinion/UN-dan-Peran-Sekolah.html
http://teoripembelajaran.blogspot.com/2008/05/pro-kontra-ujian-nasional.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar