Jumat, 01 Januari 2010

Teori behavioristik

PEMBAHASAN

A. Pandangan Tentang Belajar
Kata belajar merupakan istilah yang tidak asing dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian, apabila ada orang bertanya tentang batasan apakah belajar itu, kemungkinan jawaban atas pertanyaan itu bisa berbeda-beda. Hal tersebut terjadi karena rumusan batasan yang diberikan para ahli sukar untuk mencapai kesamaan yang mutlak.
Belajar merupakan proses perubahan perilaku. Perilaku yang dimaksud dapat berwujud perilaku yang tampak (overt behavior) atau perilaku yang tidak tampak (inert behavior). Perubahan perilaku yang diperoleh dari hasil belajar bersifat permanen, dalam arti bahwa perubahan perilaku akan bertahan dalam waktu relatif lebih lama, sehingga pada suatu waktu perilaku tersebut dapat dipergunakan untuk merespon stimulus yang sama atau hampir sama.
Aspek penting yang dikemukakan oleh aliran behavioristik dalam belajar adalah bahwa hasil belajar (perubahan perilaku) itu tidak disebabkan oleh kemampuan internal manusia (insight), tetapi karena faktor stimulus yang menimbulkan respons. Untuk itu, agar aktivitas belajar siswa di kelas dapat mencapai hasil belajar yang optimal, maka stimulus harus dirancang sedemikian rupa (menarik dan spesifik) sehingga mudah direspons oleh semua siswa.
Proses belajar pada diri individu dapat terjadi dengan berbagai cara. Kadang-kadang proses belajar tersebut dilakukan secara sengaja, sebagaimana ketika siswa memperoleh informasi yang disajikan oleh guru di dalam kelas, atau ketika individu membaca berbagai istilah di dalam buku. Kadang-kadang proses belajar itu juga dilakukan secara tidak disengaja, sebagaimana reaksi anak ketika melihat jarum suntik. Namun demikian aktivitas belajar manusia akan berlangsung terus-menerus sepanjang waktu, setiap kali manusia berinteraksi dengan lingkungan (stimulus) dan manusia akan mereaksinya (memberikan respon).

B. Teori Belajar Kondisioning Klasik
Teori ini dikembangkan oleh Ivan Pavlov (1849-1936) seorang psikolog Rusia. Menurut Pavlov, apabila anjing mengeluarkan air liur karena melihat makanan, respons ini bersifat alamiah (alami). Disebut respons alamiah karena respons itu tidak berkondisi (unconditioned response) dan stimulusnya juga disebut stimulus alamiah. Apabila hal tersebut divisualisasikan akan terlihat dalam gambar sebagi berikut:






Persoalan yang muncul dalam eksperimen Pavlov adalah apakah bunyi bel dapat menimbulkan air liur pada anjing?. Apabila hal ini terjadi, maka bunyi bel berkedudukan sebagai stimulus berkondisi (Conditioning Stimulus/CS) dan respon yang berwujud keluarnya air liur disebut respon yang berkondisi (Conditioning Response/CR).
Untuk menimbulkan respons berkondisi ditempuh dengan jalan memberikan stimulus berkondisi bebarengan atau sebelum diberikan stimulus alamiah. Pemberian stimulus-stimulus tersebut dilakukan berulang kali, sehingga pada akhirnya akan terbentuk respons berkondisi (anjing mengeluarkan air liur), sekalipun tidak diberikan stimulus alamiah (makanan).






Pada akhir percobaan (akhir pengkondisian) penyajian stimulus berkondisi (bunyi bel) ternyata menghasilkan respons berkondisi (mengeluarkan air liur). Dalam hal ini stimulus berkondisi (bunyi bel) tidak disajikan secara bersamaaan dengan stimulus alamiah (daging).




Dari ketiga tahapan eksperimen tersebut dapat dijelaskan bahwa:
1. Apabila stimulus alamiah (daging) disajikan dihadapan anjing, maka anjing akan mengeluarkan respon almiah (mengeluarkan air liur)
2. Apabila stimulus berkondisi (bel) diberikan setelah diberikan stimulus alamiah, maka respons berkondisi tidak akan terbentuk, dan
3. Respons berkondisi akan terbentuk apabila stimulus berkondisi diberikan sebelum atau berbarengan dengan stimulus alamiah.
Di dalam eksperimen itu juga dapat dijelaskan bahwa apabila di dalam diri anjing telah terbentuk Conditioning Response(CR) terhadap Conditioning Stimulus (CS), maka stimulus yang mirip dengan CS juga akan menimbulkan CR. Hal ini terjadi karena adanya kemiripan CS baru dengan CS lama yang menimbulkan CR. Peristiwa ini disebut dengan prinsip generalisasi (generalization). Misalnya, suara bel diganti dengan suara sirine, anjing akan tetap mengeluarkan air liur.
Kemudian apabila penyajian CS dilakukan secara berulang-ulang tanpa diikuti oleh penyajian UCS (tidak diberikan penguatan), maka CR semakin lama semakin hilang. Peristiwa ini disebut dengan kepunahan (Extincion). Misalnya, setiap kali dibunyikan bel, dan tanpa disertai dengan pemberian makanan, maka anjing tidak akan mengeluarkan air liur.
Selanjutnya, eksperimen dilakukan dengan menyajikan stimulus yang bervariasi. Pavlov melakukan percobaan dengan menggunakan dua macam lampu, yaitu lampu berwarna merah disertai dengan pemberian makanan sebagai stimulus alamiah (sebagai penguatan), dan lampu hijau dengan tidak disertai pemberian makanan. Stimulus tersebut diberikan berulang kali terhadap anjing percobaan. Dari eksperimen tersebut, terbukti bahwa anjing akan megeluarkan air liur apabila melihat lampu merah sekalipun tidak diberikan makanan karena sudah terbentuk respons berkondisi (CR). Sebaliknya, ketika melihat lampu hijau dinyalakan, anjing tidak mengeluarkan air liur, Karena berdasarkan pengalaman yang diperoleh, munculnya lampu hijau ternyata tidak diberikan makanan.
Dari eksperimen tersebut, Pavlov menarik kesimpulan yang kemudian dijadikan sebagai prinsip belajar, yaitu bahwa dalam diri anjing akan terjadi pengondisian selektif berdasar atas penguatan selektif. Dalam arti, anjing dapat emmbedakan stimulus yang disertai penguatan dan stimulus yang tidak disertai penguatan. Hal tersebut, menekankan pada aspek pengamatan dan pengukuran , serta penggalian aspek-aspek belajar sehingga dapat membantu penelitian tentang belajar secara ilmiah.

C. Teori Belajar Operant Conditioning
Teori operant conditioning dikembangkan oleh Burr Federic Skiner (1904-1990). Seperti halnya kelompok penganut psikologi modern, Skinner mengadakan pendekatan behavioristik untuk menerangkan tingkah laku. Pada tahun 1938, Skinner menerbitkan bukunya yang berjudul The Behavior of Organism. Dalam perkembangan psikologi belajar, ia mengemukakan teori operant conditioning. Buku itu menjadi inspirasi diadakannya konferensi tahunan yang dimulai tahun 1946 dalam masalah “The Experimental an Analysis of Behavior”. Hasil konferensi dimuat dalam jurnal berjudul Journal of the Experimental Behaviors yang disponsori oleh Asosiasi Psikologi di Amerika (Sahakian,1970)
B.F. Skinner berkebangsaan Amerika dikenal sebagai tokoh behavioris dengan pendekatan model instruksi langsung dan meyakini bahwa perilaku dikontrol melalui proses operant conditioning. Di mana seorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan relatif besar. Dalam beberapa hal, pelaksanaannya jauh lebih fleksibel daripada conditioning klasik.
Gaya mengajar guru dilakukan dengan beberapa pengantar dari guru secara searah dan dikontrol guru melalui pengulangan dan latihan. Menajemen Kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku antara lain dengan proses penguatan yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yanag tidak tepat.
Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant ( penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.
Skiner memandang manusia sebagai mesin (bertindak secara teratur dan dapat diramalkan responnya terhadap stimulus yang dating dari luar. Teori ini mempelajari tentang gerak non reflek atau perilaku yang disengaja.
Skinner membuat eksperimen yang dikenal dengan skinner box (menggunakan kotak yang didalamnya terdapat pengungkit, penampung makanan) yaitu sebagai berikut :
Dalam laboratorium Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang disebut “skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan yaitu tombol, alat pemberi makanan, penampung makanan, lampu yang dapat diatur nyalanya, dan lantai yanga dapat dialir listrik. Karena dorongan lapar tikus beruasah keluar untuk mencari makanan. Selama tikus bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol, maka makananpun keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shapping.
Karena setiap kali menekan tombol itu, tikus akan mendapat makanan. Sebagai akibatnya jumlah penekannan terhadap tombol meningkat untuk mendapatkan makanan. Dan ketika alat pemberi makanan itu diputuskan hubungan dengan tombol itu ternyata tikus akan tetap memencet tombol dalam waktu yang cukup lama (tikus mengalami operant conditioning).
Berdasarkan berbagai percobaannya pada tikus dan burung merpati Skinner mengatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan. Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Bentuk bentuk penguatan positif berupa hadiah, perilaku, atau penghargaan. Bentuk bentuk penguatan negatif antara lain menunda atau tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang.
Hadiah dapat meningkatkan probabilitas timbulnya respon. Misalnya siswa memiliki semangat dan akan belajar dengan lebih baik apabila mengetahui akan mendapatkan hasil yang baik. Hasil yang baik merupakan balikan yang menyenangkan dan berpengaruh baik bagi usaha belajar selanjutnya.
Siswa yang belajar sungguh-sungguh akan mendapatkan nilai yang baik dalam ujian. Nilai yang baik itu mendorong siswa untuk belajar lebih giat lagi. Nilai yang baik merupakan operant conditioning atau penguatan positif. Sebaliknya anak yang mendapat nilai yang buruk pada waktu ujian, dia akan merasa takut tidak naik kelas. Karena takut tidak naik kelas, dia terdorong untuk belajar lebih giat lagi. Hal ini disebut penguatan negatif.
Berdasarkan percobaan diatas, skinner menyimpulkan :
1. Stiap respon yang diikuti oleh penguatan (reward atau reinforcing stimuli) cenderung akan diulang kembali.
2. Reward atau reinforcing stimuli akan meningkatan kecepatan terjadinya respons.
Skiner membagi dua macam pengkondisian, yaitu:
1. Responden conditioning (conditioning tipe S), disebut conditioning tipe S karena menekankan pentingnya stimulus (S) dalam menimbulkan respon yang dikehendaki atau diinginkan. (conditioning ini sama dengan classical conditioning dari Pavlov).
2. Operant conditioning (conditioning tipe R), disebut conditioning tipe R karena menekankan pentingnya respon (R).
Searah dengan dua jenis perilaku tersebut, skinner membedakan dua macam pengkondisian, yaitu:
1. Pada classical conditioning, individu tidak perlu membuat respon atau aktivitas dalam memperoleh hadiah, sebab tinggal menunggu dari orang lain, dan
2. Pada operant conditioning, organism harus membuat respon atau aktivitas dalam memperoleh hadiah.
• Beberapa prinsip Skinner antara lain :
1. Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika bebar diberi penguat.
2. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
3. Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
4. Dalam proses pembelajaran, tidak digunkan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah, untukmenghindari adanya hukuman.
5. dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktifitas sendiri.
6. Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variabel Rasio rein forcer.
7. Dalam pembelajaran digunakan shaping.

D. Teori Belajar Modeling dan Observational Learning
Menurut bandura teori operant conditioning yang dikembangkan oleh skinner menekankan pada efek dari konsekuensi perilaku dan tidak memandang pentingnya modeling yakni meniru perilaku orang lain dan pengalaman yang dialami orang lain atau meniru keberhasilan atau kegagalan orang lain.
Bandura lahir pada tanggal 4 Desember 1925 di Mondare alberta berkebangsaan Kanada. Ia seorang psikolog yang terkenal dengan teori belajar sosial atau kognitif sosial serta efikasi diri. Eksperimennya yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll yang menunjukkan anak meniru secara persis perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya
Bandura mengembangkan empat tahap melalui pengamatan modeling, yaitu:
1. Tahap perhatian, mencakup peristiwa peniruan dan karakteristik pengamat.
Dalam tahap ini individu memperhatikan model yang menarik, berhasil, atraktif dan popular. Melalui model ini individu dapat meniru bagaimana cara berfikir dan bertindak orang lain, serta penampilan model dihadapan orang lain. Guru di dalam kelas dapat menarik perhatian siswa dengan cara menyampaikan petunjuk belajar yang jelas, menarik dan memotivasi siswa untuk memperhatikan pelajaran yang hendak disajikan.
2. Tahap Retensi, Penyimpanan atau proses mengingat yang mencakup kode pengkodean simbolik.
Dalam tahap ini apabila guru telah mendapat perhatian dari siswa, guru memodelkan perilaku yang akan ditiru oleh siswa dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mempraktikkannya atau mengulangi model yang telah ditampilkan. Misalnya guru olahraga setelah menunjukan cara memukul bola tenis dengan benar, kemudian siswa diminta mencoba menirukan guru dalam memukul bola tenis.
3. Tahap Reproduksi, mencakup kemampuan fisik, kemampuan meniru, keakuratan umpan balik.
Dalam tahap ini siswa mencoba menyesuaikan diri dengan perilaku model. Misalnya, setelah siswa mengamati cara memukul bola tenis yang diperagakan oleh guru dan mempraktikannya beberapa kali, siswa kemudian diminta membuat pukulan seperti yang dilakukan oleh gurunya.
4. Tahap Motivasional, mencakup dorongan dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri.
Dalam tahap ini, siswa akan menirukan model karena merasakan bahwa melakukan pekerjaan yang baik akan meningkatkan kesempatan untuk memperoleh penguatan. Misalnya siswa meniru cara pemain tenis yang sudah popular dan berharap akan menjadi pemain tenis yang popular pula. Tahap motivasi onal umumnya disebabkan oleh pujianyang diberkan oleh guru karena siswa mampu menyesuaikan diri dengan model yang disampaikan oleh guru.
Dalam kegiatan ini, individu belajar dengan cara memperhatiakn orang lain yang memperoleh penguatan atau hukuman. Guru dalam menyelenggarakan pembelajaran di kelas sering menggunakan cara belajar ini. Anak yang mampu menjawab pertanyaan dengan benar kemudian diberi pujian, sehingga siswa yang belum mampu menjawab pertanyaan dengan benar memiliki harapan untuk menjawab pertanyaan lain dengan benar agar mendapat pujian secara sama yang diperoleh temannya.
Konsep penting lainnya dalah pengaturan diri. Dalam kegiatan belajar mengajar individu mengamati perilakunya sendiri, menilai perilakunya sendiri dengan standar yang dibuatnya sendiri dan memperkuat atau menghukum diri sendiri apabila berhasil ataupun gagal.
Selain itu juga harus diperhatikan bahwa faktor model atau teladan mempunyai prinsip prinsip sebagai berikut:
1. Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorganisasikan sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya.
2. Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
3. Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model atau panutan tersebut disukai dan dihargai dan perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat.
Karena melibatkan atensi, ingatan dan motifasi, teori Bandura dilihat dalam kerangka Teori Behaviour Kognitif. Teori belajar sosial membantu memahami terjadinya perilaku agresi dan penyimpangan psikologi dan bagaimana memodifikasi perilaku. Teori Bandura menjadi dasar dari perilaku pemodelan yang digunakan dalam berbagai pendidikan secara massal.

E. Teori Belajar Koneksionisme
Edward Thorndike mengembangkan teori Koneksionosme di Amerika Serikat (1874-1949). Dalam melakukan eksperimennya, Thorndike menggunakan kucing sebagai binatang coba. Dalam eksperimen tersebut, Thorndike menghitung waktu yang dibutuhkan oleh kucing untuk dapat keluar dari kandang percobaan (puzzle box).
Menurut Thorndike, koneksi (connection) merupakan asosiasi antara kesan-kesan penginderaan dengan dorongan untuk bertindak, yakni upaya untuk menggabungkan antara kejadian penginderaan dengan perilaku. Dalam hal ini Thorndike menitik beratkan pada aspek fungsional dan perilaku, yakni bahwa proses mental dan perilaku organisme berkaitan dengan penyesuaian diri terhadap lingkungannya.
Dalam percobaan yang dilakukan oleh Thorndike, kucing pertama kali berhasil melepaskan diri dari kandang percobaan dengan jalan coba-coba (trial and error). Pada mulanya kucing mencoba berbagai tindakan, sampai akhirnya secara tidak sengaja ia menekan tombol (tuas) dan dapat keluar dari kandang. Setelah beberapa kali dilakukan percobaan, kucing dapat “menghubungkan” atau memiliki asosiasi antara menekan tombol dengan upaya melepaskan diri dari kandang. Thorndike menemukan rata-rata kucing percobaannya mampu melepaskan diri dari kandang percobaan, tetapi kucing membutuhkan waktu (latihan) untuk cepat keluar dari kandang.
Menurut Thorndike, dasar dari belajar adalah trial and error. Ia memperoleh kesimpulan ini berdasarkan eksperimen yang dilakukan dengan menggunakan bermacam-macam hewan percobaan. Thorndike sampai pada kesimpulan bahwa, hewan percobaan itu menunjukkan adanya penyesuaian diri dengan lingkungannya sedemikian rupa sebelum hewan percobaan itu dapat melepaskan diri dari kandang percobaan. Selanjutnya dikemukakan bahwa perilaku dari semua hewan percobaan itu praktis sama. Apabila hewan ditempatkan di dalam kandang, maka hewan percobaan menunjukkan keadaan yang tidak nyaman dan berusaha untuk keluar dari kandang.
Dalam memecahkan masalah (keluar dari kandang), ternyata kucing melakulannya secara sedikit demi sedikit dan tidak secara mendadak. Ini menunjukkan bahwa kucing dalam memecahkan masalah yang dihadapinya tidak menggunakan pemahaman (insight), karena tidak adanya pemecahan secara mendadak. Thorndike memperhatikan waktu yang digunakan kucing dalam memecahkan masalah, yakni keluar dari kandang. Kucing itu berusaha keluar dari kandangnya melalui usaha coba-coba. Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa waktu yang digunakan oleh kucing untuk keluar dari kandangnya ternyata semakin lama semakin berkurang. Oleh karena itu semakin banyak waktu atau kesempatan yang dimiliki oleh kucing, maka akan semakin cepat pula kucing itu dalam memecahkan masalah.
Adanya waktu yang digunakan oleh kucing percobaan dalam memecahkan masalah ternyata berangsur-angsur semakin menurun atau berkurang, Thorndike akhirnya berkesimpulan bahwa kegiatan belajar pada dasarnya adalah lebih bersifat trial and error. Kemudian kemajuan yang diperoleh dalam belajar adalah sedikit demi sedikit dan bukan dalam bentuk lompatan. Belajar pada semua hewan menyusui (termasuk manusia) mengikutihukum yang sama, yakni bersifat trial and error. Diakui oleh Thorndike, bahwa belajar pada manusia lebih bersifat kompleks, namun demikian tidaklah mungkin menerangkan proses belajar tersebut dengan meninggalkan hukum belajar yang sama.
Berdasarkan pada percoban yang telah dilakukan, Thorndike pada akhirnya mengemukakan tiga macam hukum belajar, yaitu: (a) hukum kesiapan, (b)hukum latihan dan (c) hukum akibat.
1. Hukum Kesiapan (The Law of Readiness)
Agar proses belajar mencapai hasil yang lebih baik, maka diperlukan adanya kesiapan individu dalam belajar. Ada tiga keadaan yang menunjukkan berlakunya hukum ini, yaitu:
a. Apabila individu memiliki kesiapan untuk bertindak atau berperilaku, dan dapat melaksanakannya, maka dia akan mengalami kepuasan.
b. Apabila individu memiliki kesiapan untuk bertindak atau berperilaku, tetapi tidak dapat melaksanakannya, maka dia akan merasa kecewa.
c. Apabila individu tidak memiliki kesiapan untuk bertindak atau berperilaku, dan dipaksa untuk melakukannya, maka akan menimbulkan keadaan yang tidak memuaskan.
Apabila individu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan kesiapan diri, maka dia akan memperoleh kepuasan, dan jika dapat hambatan dalam pencapaian tujuan, maka akan menimbulkan kekecewaan. Memaksa seseorang untuk melakukan sesuatau yang tidak dikehendaki cenderung akan menimbulkan kekecewaan bahkan frustasi. Sesuatu yang menyenagkan adalah sesuatu yang tidak ditolak oleh seseorang, dan keadaan yang tidak menyenagkan atau ditolak itu merupakan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh setiap orang.
2. Hukum Latihan (The Law of Exercise)
Hubungan atau koneksi antara stimulus dan respons akan menjai kuat apabila sering dilakukan latihan. Dengan kata lain bahwa hubungan antara stimulus dan respons itu akan menjadi lebih baik, kalau dilatih. Sebaliknya, apabila tidak ada latihan, maka hubungan antara stimulus dan respons itu akan menjadi lemah. Makna menjadi kuat atau menjadi lemah itu menunjukkan terjadinya probabilitas respons yang semakin tinggi apabila stimulus itu timbul kembali. Oleh karena itu hukum latihan ini memerlukan tindakan belajar sambil bekerja (learning by doing).
3. Hukum akibat (The Law of Effect)
Apabila sesuatu memberikan hasil yang menyenagkan atau memuaskan, maka hubungan antara stimulus dan respons akan menjadi semakin kuat. Sebaliknya, apabila hasilnya tidak menyenangkan, maka kekuatan hubungan antara stimulus dan respons akan menjadi menurun. Dengan kata lain, apabila stimulus menimbulkan respons yang membawa hadiah (reward), maka hubungan antara stimulus dan respons akan menjadi kuat dan demikian pula sebaliknya.

Disamping ketiga hukum tersebut, Thorndike mengemukakan tiga hukum lain yang bersifat skunder, yaitu: (1) multiple respone, yakni individu dalam menghadapi masalah akan mencoba berbaai respons untuk mendapatkan respons yang tepat. Melalui tindakan yang bersifat trial and error,pada akhirnya individu mendapatkan respons yang tepat. (2) set atau attitude, yakni kesiapan atau kecenderungan individu berperilaku tertentu. Dalam hal ini seseorang yang sedang belajar perlu memperhatikan kompleksitas lingkungan, karena dia akan memberikan respons tertentu terhadap suatu stimulus atau lingkungan. (3) associative shifting, yakni setiap respons yang telah dimilliki oleh seseorang dapat dipindahkan sebagai respons terhadap stimulus baru.

F. Teori Belajar Modifikasi Perilaku Kognitif
Meichenbaum menyatakan bahwa individu dapat diajarkan untuk memantau dan mengatur perilakunya sendiri. Cara yang digunakan yaitu melatih individu yang terganggu emosionalnya untuk membuat dan menjawab pertanyaannya sendiri. Misalnya, anak yang mengalami gangguan emosional dilatih untuk mengingat perilaku yang telah ditampilkan dan memperkuat perilakunya sendiri. Cara belajar ini juga dapat digunakan untuk membantu siswa memantau prestasinya sendiri. Misalnya, pembaca buku dilatih untuk membuat pertanyaan dan jawaban sendiri, serta meringkas paragraf untuk menguasai bacaan.
Ada lima tahap dalam kegiatan belajar mandiri yang dikembangkan oleh Meichenbaum, yaitu:
1. Model orang dewasa melakukan tugas tertentu sambil berbicara dengan keras. Kegiatan ini disebut modeling kognitif.
2. Anak melakukan tugas yang sama dibawah arahan pembelajaran dari model. Kegiatan ini disebut bimbingan eksternal.
3. Anak melakukan tugas sambil membelajarkan diri sendiri. Kegiatan ini disebut bimbingan yang dilakukan oleh diri sendiri.
4. Anak membelajarkan dirinya sendiri dengan cara berbiacara pelan-pelan pada saat melanjutkan tugas. Kegiatan ini disebut bimbingan yang dilakukan diri sendiri.
5. Anak melakukan tugas untuk mencapai kinerja tertentu dengan melakukan percakapan diri sendiri (pembelajaran diri sendiri).
Teori belajar modifikasi perilaku kognitif ini menekankan pada modeling percakapan diri sendiri dan secara meningkat berpindah dari perilaku yang dikendalikan oleh orang lain kepada perilaku yang dikendalikan oleh diri sendiri, dimana individu menggunakan percakapan diri sendiri pada waktu melaksanakan tugas.
G. Teori Belajar Kondisioning
Guthrie menyatakan bahwa semua belajar diterangkan denga satu prinsip, yaitu prinsip asosiasi. Belajar merupakan suatu upaya untuk menentukan hukum-hukum, bagaimana stimulus dan respons itu berasosiasi. Dua kejadian tersebut dihubungkan sehingga dapat membentuk asosiasi(dalam otak),maka kedua kejadian itu harus terjadi pada waktu dan tempat yang sama(memiliki keterdekatan). Individu akan merespons stimulus dari luar apabila stimulus tersebut memiliki asosiasi dengan responsnya.
Menurut Guthrie, perilaku manusia merupakan deretan perilaku manusia merupakan deretan perilaku yang terdiri atas unit-unit reaksi atau respons dari stimulus sebelumnya. Respons pada suatu stimulus tersebut menjadi stimulus baru dan menimbulkan respons pada unit perilaku berikutnya, begitu seterusnya. Deretan dari stimulus-respons itu merupakn perwujudan dari unit-unit perilaku yang akhirnya menjadi uruta unit-unit perilaku. Untuk memperkuat asosiasi antara unit perilaku satu dengan unit perilaku berikutnya diperlukan latihan atau pengulangan agar tidak terjadi kehilangan mata rantai suatu unit perilaku dalam deretan perilaku.
Konsep dari Guthrie dapat diperjelas degan sebuah ilustrasi. Misalkan seorang ibu merasa kesulitan mengubah perilaku anaknya setelah pulang sekolah yang selalu melemparka tas dan pakaiannya di sudut kamar kamarnya, kemudian ganti pakaian dan terus makan. Ibu tersebut telah sering menegurnya, supaya tas dn pakaiaanya ditempatkan pada tempatnya. Namun teguran tersebut hanya ditaati oleh anaknya dalam satu atau dua hari,dan setelah itu kebiasaan buruknya muncul kembali. Untuk mengubah kebiasaan buruk anak tersebut, Guthrie memberikan solusi bahwa ibu tersebut jangan hanya menegur anaknya saja tetapi ibu tersebut juga harus menyuruh anaknya tersebut kembali memakai pakain dan tasnya kemudian disuruh keluar dari rumah dan dan masuk kembal ke rumah. Kemudian anak tersebut diminta menempatkan tas dan pakaiannya di tempat yang sebenarnya, ganti pakaian, mencuci tangan, setelah itu baru makan. Dengan demikian proses pengubahn perilaku perlu dilakukan dari proses awal, dan bukan pada kesalahan yang dilakukan pada unit perilaku tertentu.
Ilustrasi tersebut memberikan gambaran bahwa sutu stimulus menimbulkan respons tertentu dan respons tersebut menjadi stimulus baru yang kemudian memperoleh respons. Dalam ilustrasi tersebut unit perilaku masuk(stimulus) diikuti oleh unit perlaku berikutnya, yakni menempatkan tas dan pakaian di tempat sebenarnya (respons). Penempatan tas dan pakaian (stimulus) diikuti oleh perilaku berikutnya, yakni ganti pakaian (respons) dan begitu seterusnya sehingga terjalin mata rantai unit perilaku. Oleh karena itu, dalam mengubah perilaku yang tidak baik harus dilihat dalam rentetan deretan unit-unit perilaku, kemudian diusahakan untuk menghilangkan unit periak yang tidak baik tersebut atau menggantinya dengan perilaku yang seharusnya.
Guthrie menyarankan tiga cara untuk mengubah perilaku buruk pada diri seseorang, yaitu:
1) Metode reaksi berlawanan (incompatible respone methode)
Manusia merupakan organisme yang selalu mereaksi terhadap stimulus tertentu. Apabila suatu respons terhadap stimulus telah menjadi kebiasaan, maka cara untuk mengubahnya adalah dengan jalan menghubungkan stimulus itu dengan respons yang berlawanan, atau dengan respons buruk yang hendak dihilangkan. Misalnya, untuk menghentikan kebiasaan merokok berikanlah sepuluh batang rokok untuk dihisap sekaligis agar mabok. Cara ini perlu dilakukan berulang-ulang agar orang itu merasa ingin mabok ketika ingin merokok lagi.
2) Metode membosankan (exchaustion method)
Perilaku yang buruk dibiarkan terus sampai orang yang bersangkutan menjadi bosan dengan sendirinya. Dengan kata lain, asosiasi antara stimulus dan respons yang buruk itu dibiarkan terus agar menghilang dengan sendirinya. Misalnya, untuk mengubah anak yang suka main petasan. Biarkanlah anak tersebut membunikan petasan sampai bosan sebab kalau sudah bosan dia akan behenti dengan sendirinya.
3) Metode pengubahan lingkungan (change of environment method)
Metode ini dilakukan dengan cara memutuskan atau memisahkan hubungan antara stimulus dengan respons yang akan dihilangkan. Aspek yang diubah yaitu stimulus yang menimbulkan kebiasaan buruk. Misalnya, anak yang suka menyontek ketika mengikuti ujian di dalam kelas. Anak tersebut harus dipindahkan tempat duduknya di depan guru pengawas agar kebiasaan menyontek tidak diulangi kembali.

H. Prinsip-Prinsip Belajar
Salah satu tugas guru adalah mengajar. Dalam kegiatan belajar mengajar tersebut tentu saja tidak dapat dilakukan sembarangan, melainkan seorang guru harus menggunakan teori dan prinsip-prinsip belajar agar dapat bertindak dengan benar dan tepat.
1. Penguatan (reinforcement)
Seorang ahli behaviorisme, Skinner menyatakan bahwa perilaku akan berubah sesuai dengan konsekuensi yang diperolehnya. Konsekuensi yang menyenangkan akan memperkuat perilaku dan konsekuensi yang tidak menyenangkan akan memperlemah perilaku. Dengan kata lain, konsekuensi yang menyenangkan akan meningkatkan frekuensi munculnya perilaku dan konsekuensi yang tidak menyenangkan akan mengurangi frekuensi munculnya perilaku. Misalnya, orang yang senang sepak bola dia akan sering bermain sepak bola. Sedangkan yang tidak senang, maka dia tidak akan suka bermain sepak bola.
Konsekuensi yang menyenangkan pada umumnyadisebut sebagai penguat (reinforcers), sementara konsekuensi ayng tidak menyenagkan disebut sebagai hukuman (punisher). Penguatan merupakan unsur penting di dalam belajar karena penguatan itu akan memperkuat perilaku. Menurut Skinner penguatan ada dua macam, yaitu:
a. Penguatan positif
Penguatan positif yaitu sesuatau yang apabila diperoleh akan meningkatkan respons atau perilaku. Misalnya seorang guru mengatakan “bagus” setelah seorang murid menjawab pertanyaan. Respons dengan memeperoleh reinforcement positif, respons tersebut cenderung akan diulangi lagi. Reinforcement positif dbedakan menjadi dua, yaitu:
1) reinforcement positif primer, yakni reinforcement yang alami, misalnya makanan.
2) reinforcement positif sekunder, yakni stimuli yang berhubungan dengan reinforcement positif primer, misalnya uang. Dalam hal ini uang dapat digunakan untuk memperoleh makanan.
b. Penguatan negatif
Pengutan negatif yaitu sesuatu yang apabila ditiadakan akan meningkatkan probabilitas respons. Dengan kata lain, reinforcement negatif itu sebenarnya merupakan hukuman (punishment). Penguatan negatif dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) reinforcement negatif primer, yakni penguatan alami, misalnya aliran listrik bagi subjek coba.
2) reinforcement negatif sekunder, yakni stimuli yang berkaitan dengan reinforcement negatif primer, misalnya nyala lampu (karena sebelum dikenai kejutan listrik, diberi lampu dahulu).
2. Hukuman (punishment)
Konsekuensi yang tidak memperkuat (dalam arti memperlemah) perilaku disebut hukuman. Hukuman dimaksudkan untuk meemperlemah atau meniadakan perilaku tertentu dengan cara mengguanakan kegiatan yang tidak diinginkan dan hukuman harus diterapkan secara bijak.
Hukuman yang diberikan oleh seorang guru sebetulnya tidak akan meghilangkan perilaku, karena hukuman hanya dapat melatih seseorang berbuat tentang apa yang tidak boleh dilakukan dan tidak melatih seseoarng tentang apa yang harus dilakukan. Skinner menyatakan bahwa hadiah (reward) itu lebig efektif dari pada hukuman (punishment). Misalnya, guru mempersilakan muridnya membaca pekerjaan rumahnya yang dinilai bagus. “Sebagai hadiah untuk pekerjaan rumah yang bagus, dia akn membacakan karangannya untuk kita semua. Betapa pintarnya dia”, kata guru. Kata-kata guru tersebut merupkan hadiah bagi anak. Misalnya seorang guru mengatakan dengan ketusnya pada seorang murid yang bandel, “Beni, hentikan itu dan kerjakan tugasmu”. Ucapan guru tersebut merupakan hukuman bagi anak.
3. Kesegeraan pemberian penguatan
Penguatan yang diberikan segera setelah perilaku muncul, akan menimbulkan efek terhadap perilaku yang jauh lebih baik dibandingkan dengan pemberian penguatan yang diulur-ulur waktunya. Misalnya anak baru selesai memenangkan lomba, kemudian langsung diberikan hadiah dan naik ke atas panggung kemenangan, efeknya akan lebih baik dibandingkan dengan apabila hadiahnya itu diberikan pada beberapa hari kemudian. Kedekatan pemberian penguatan merupakan bentuk balikan segera yang dapat menimbulkan kepuasan kepada setiap orang setelah berhasil melaksanakan tugas.
Balikan segera yang diberikan kepada seseorang setidak-tidaknya memiliki dua tujuan, yaitu dapat membuat kejelasan hubungan antara perilaku dan konsekuensi serta dapat meningkatkan nilai informasi terhadap balikan itu sendiri. Dalam pelajaran menulis karangan bebas, misalnya siswa yang memperoleh balikan dengan benar akan meningkatkan motivasinya dalam menyelesaikan tulisan dan segera memperbaiki tulisannya yang dianggap kurang benar.
4. Jadwal pemberian penguatan (schedule of reinforcement)
Penguatan dapat diberikan secara terus-menerus atau berantara. Jika setiap respons diikuti dengan penguatan, maka tindakan ini dinamakan penberian penguatan secara terus-menerus. Sebaliknya, jika sebagian respons yang mendapatkan penguatan, maka tindakan ini dinamakan pemberian penguatan secara berantara (intermittent reinforcement). Bagian respons yang diperkuat melalui penguatan berantara itu dapat didasarkan pada sejumlah respons yang dibuat oleh seseorang. Dalam peristiwa ini jadwal pemberian penguatan dinamakan jadwal pemberian penguatan perbandingan (ratio schedule), dimana penguatan diberikan pada salah satu diantara respons yang diinginkan. Penguatan berantara dapat diberikan dengan menggunakan jadwal jarak waktu (time interval) antar penguatan secara bervariasi. Dalam hal ini guru menggunakan jadwal jarak waktu dalam memberikan penguatan. Misalnya, guru memperkuat respons yang dilakukan oleh siswa setelah jarak waktu satu menit atau dua menit, atau sepuluh menit, sejak penguatan yang diberikan sebelumnya.
Variasi lain dari jadwal pemberian penguatan yang dilakukan oleh guru dapat berbentuk perbandingan tetap (fixed-ratio) atau perbandingan berubah (variable ratio), dan jarak waktu tetap (fixed-interval) atau jarak waktu berubah (variable interval). Variasi jadwal pemberian penguatan itu memiliki efek terhadap kecepatan respons, jumlah respons setiap pemberian penguatan, jumlah respons yang dibuat setelah penguatan dihentikan, dan sebagainya.
5. Peran stimulus terhadap perilaku
Penguatan yang diberikan setelah munculnya perilaku sangat berpengaruh terhadap perilaku. Demikian pula stimulus yang mendahului perilaku, disebut juga anteseden perilaku dan memegang peranan penting. Ada beberapa stimulus yang mempengaruhi perilaku, yaitu:
a. petunjuk
Petunjuk dikatakan stimulus anteseden karena ajakan memberikan informasi kepada setiap orang mengenai perilaku apa yang akan memperoleh hadiah dan perilaku apa yang akan mendapatkan hukuman. Petunjuk ini bentuknya beraneka ragam dan memberikan pemahaman kepada setiap orang mengenai kapan tidak harus mengubah perilaku. Misalnya, guru olahraga meminta semua siswa untuk lari keliling lapangan sebanyak tiga kali dalam waktu 10 menit. Anak yang tidak mampu memenuhi target yang diharapkan, dia akan memperoleh hukuman sedangkan yang memenuhi akan mendapatkan hadiah. stimulus.
b. diskriminasi
Kemampuan berperilaku dengan cara tertentu dalam menghadapi stimulus tertentu, dan perilaku lain dalam menghadapi stimulus lain disebut diskriminasi. Setiap individu telah belajar membedakan tentang kapan sebaiknya mengajukan pertanyaan dan kapan menjawab pertanyaan yang diajuakan oeh guru. Diskriminasi dilakuakndengan cara menggunakan ptunjuk, tanda, atau informasi untuk mengetahui kapan suatu perilaku akan memperoleh penguatan. Agar siswa dapat belajar diskriminasi tentang perilaku, mereka harus memperoleh balikan atas respons yang benar dan salah.
c. generalisasi
Generalisasi pada setiap orang tidak dapat berlangsung begitu saja. Biasanya, apabila program manajemen perilaku berhasil diperkenalkan di lingkungan tertentu, perilaku seseorang itu tidak secara otomatis akan menjadi baik di lingkungan yang lain. Setiap orang serta siswa belajar mendiskriminasikan perilaku di berbagai lingkungan. Agar generalisasi itu terjadi pada diri individu, maka generalisasi itu harus direncanakan. Program manajemen perilaku berhasil digunakan di dalam pelajaran PPKn. Misalnya, dapat dialihkan kepada pelajaran lain seperti IPS agar terjadi proses generalisasi perilaku. Proses pengalihan perilaku ini diterapkan siswa agar dapat melaksanakan tugas belajar di berbagai situasi.























BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Dari pembahasan yang ada dapat disimpulkan bahwa :
1. Pandangan tentang belajar
Batasan tentang belajar antara para ahli berbeda-beda karena rumusan batasan yang diberikan para ahli sukar untuk mencapai kesamaan yang mutlak. Belajar merupakan proses perubahan perilaku yang tampak (overt behavior) atau tidak tampak (inert behavior) dan hasil dari perubahan itu akan bertahan dalam waktu relative lebih lama. Aktivitas belajar manusia akan berlangsung terus-menerus sepanjang waktu, setiap kali manusia berinteraksi dengan lingkungan (stimulus) dan manusia akan mereaksinya (memberikan respon).
2. Teori belajar kondisioning klasik
Teori belajar kondisioning klasik menyatakan bahwa dalam proses belajar (perubahan perilaku) terdapat stimulus yang menimbulkan respon, baik itu stimulus alami yang memunculkan respon alami maupun stimulus berkondisi yang disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan respons berkondisi.
3. Teori belajar operant Conditioning
Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant ( penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.
4. Teori belajar modeling dan observational learning
Teori belajar modeling dan observational learning adalah suatu proses peniruan dari suatu pengamatan yang diperoleh dengan cara mengorganisasikan sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya. Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model atau panutan tersebut disukai dan dihargai dan perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat dan sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
5. Teori belajar koneksionisme
• koneksi (connection) merupakan asosiasi antara kesan-kesan penginderaan dengan dorongan untuk bertindak, yakni upaya untuk menggabungkan antara kejadian penginderaan dengan perilaku.
• Teori koneksionisme merupakan konsep transfer of training, yaitu kecakapan yang telah diperoleh dalam belajar dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain. Adanya penyesuaian diri dengan lingkungannya kegiatan belajar pada dasarnya adalah lebih bersifat trial and error. kemajuan yang diperoleh dalam belajar adalah sedikit demi sedikit dan bukan dalam bentuk lompatan.
6. Teori belajar modifikasi perilaku kognitif
Teori belajar modifikasi perilaku kognitif ini menekankan pada modeling percakapan diri sendiri dan secara meningkat berpindah dari perilaku yang dikendalikan oleh orang lain kepada perilaku yang dikendalikan oleh diri sendiri, dimana individu menggunakan percakapan diri sendiri pada waktu melaksanakan tugas.
7. Teori belajar kondisioning
Belajar merupakan suatu upaya untuk menentukan hukum-hukum, bagaimana stimulus dan respons itu berasosiasi. Individu akan merespons stimulus dari luar apabila stimulus tersebut memiliki asosiasi dengan responsnya.
Metode ini dilakukan dengan cara memutuskan atau memisahkan hubungan antara stimulus dengan respons yang akan dihilangkan. Aspek yang diubah yaitu stimulus yang menimbulkan kebiasaan buruk. Misalnya, anak yang suka menyontek ketika mengikuti ujian di dalam kelas. Anak tersebut harus dipindahkan tempat duduknya di depan guru pengawas agar kebiasaan menyontek tidak diulangi kembali.
8. Prinsip-prinsip belajar
a. Penguatan (reinforcement)
 Penguatan positif
 Penguatan negatif
b. Hukuman (punishment)
c. Kesegeraan pemberian penguatan
d. Jadwal pemberian penguatan (schedule of reinforcement)
e. Peran stimulus terhadap perilaku
 Petunjuk
 Diskriminasi
 Generalisasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar